Thursday, April 19, 2012

When We Are "Epicly" Failing

Postingan serius ya :)

Sebuah hasil renungan tentang kekalahan bertubi-tubi.

Bagi saya, tahun dimana saya menjadi kelas 11 merupakan tahun yang sangat amat sial sekali.
Oke, bukannya saya mau menyalahkan atau apa, tapi ini fakta. Selama kelas 11 ini, tidak ada satupun lomba yang berhasil saya menangkan. Satupun.
Nyesek? Iya. Sedih? Pasti.
Dulu ketika saya masih berstatus sebagai kelas 10, saya masih enak. Tentu dengan mudahnya saya tidak perlu mengambil banyak bagian dalam lomba tersebut, karena semuanya dipegang dengan apik oleh kakak kelas saya. Pada awalnya, dengan kepolosan saya, saya sangat gembira ketika banyak lomba yang saya dan kakak-kakak kelas saya menangkan, meskipun jauh di dalam hati saya tahu, ini bukan kerja keras saya, tapi kerja keras kakak-kakak kelas saya.
Ya, saya benar-benar sangat mengagumi kakak-kakak kelas saya. Menurut saya, mereka benar-benar pelajar teladan, sosok manusia "super" di kalangan pelajar. Betapa kagumnya saya ketika mereka dengan mudahnya menghafal berbagai macam materi lomba yang sangat banyak, namun masih bisa tertawa. Betapa irinya saya ketika banyak sekali lomba yang mereka menangkan.

Singkat kata, betapa inginnya saya seperti mereka.

Ketika saya akan beranjak ke kelas 11, saya berpikir, apakah saya bisa menjalani lomba sendiri tanpa dibimbing oleh kakak kelas saya? Saya sadar karena keahlian mereka yang "super" lah kami bisa juara, dan saya juga sadar akan satu hal yang sangat menyakitkan untuk saya. Tidak ada satupun dari angkatan saya yang bisa menyaingi, mengimbangi bahkan melebihi mereka. Tidak ada, bahkan yang paling pintar sekalipun. Apalagi saya.

Dan anggapan saya ternyata benar-benar terjadi di kelas 11 ini. Saya harus mempelajarinya dengan cara yang menyakitkan.

Lomba-lomba berkurang drastis. Banyak lomba yang dilempar ke sekolah tetangga. Ketika mengikuti lomba. bukannya kemenangan, namun kekalahan demi kekalahan yang terus terjadi. Mulai dari lomba debat provinsi yang kalah, LCC Rokok yang tidak lolos di tingkat kota, hingga OSN yang galau dan LCC 4 Pilar yang bahkan kita tidak lolos ke provinsi untuk tahun ini.

Bagi saya, secara pribadi, kekalahan demi kekalahan ini sungguh saya menyakitkan. Bukannya saya ambisius, bukan. Hanya saja, lomba-lomba ini merupakan salah satu alasan mengapa saya tidak mengikuti ayah saya yang sekarang bertugas di Yogyakarta. Yang saya khawatirkan, apabila ikut pindah, maka kesempatan untuk mengikuti lomba seperti ini sangat berkurang. Tapi faktanya? Justru kesempatan saya untuk mengikuti lomba semakin berkurang, dan ketika ada kesempatan pun justru mengalami kekalahan, lagi dan lagi.

Saya kalah. Saya tidak lolos. Saya tidak berhasil melanjutkan harapan saya. Saya tidak berhasil memenuhi harapan saya. Saya tidak berhasil membanggakan kedua orangtua saya. Saya mengecewakan guru dan teman-teman saya. Ya, lama-lama pikiran negatif ini semakin ribut di otak saya, sehingga selalu, dan selalu muncul rasa penyesalan, kenapa saya tidak ikut pindah saja?

Mungkin terdengar berlebihan, tapi coba kalian pikirkan, bahwa sesuatu yang menjadi alasan kalian untuk tetap bertahan tiba-tiba lenyap begitu saja. Tentunya rasa sedih, kecewa, dan marah itu ada. Pasti.

Kadang saya berpikir, sebenarnya apa rencana Tuhan untuk hidup saya? Semua yang saya inginkan justru tidak terwujud. Alasan yang menjadi penopang saya justru tiba-tiba lenyap. Sering saya berpikir, God, why're You not fair to Me? Apakah Kau tidak meridhoi semua yang hamba perbuat selama ini? Tentunya sungguh merupakan dosa apabila saya berpikir seperti ini, namun selalu saja terbersit di pikiran ini. Saya juga tidak ingin munafik. Seoptimis apapun saya, apabila gagal, tentu rasa optimisme ini berubah jadi pesimisme yang berlebihan. Walaupun seperti nasihat seseorang saya telah menyiapkan ruang untuk kecewa, namun rasanya ruang itu tidak cukup. Kekecewaan itu selalu ada, dan terus menjalar.

Saya sadar, saya masih banyak kesalahan. Sangat kurang belajar, sangat kurang beribadah, sangat kurang mengingat nama Tuhan dimanapun saya berada, termakan oleh kesombongan dan egoisme, serta tidak memanfaatkan kepercayaan yang telah diberikan kepada saya. Oleh karena itu, saya ingin, INGIN, sekali, membuktikan bahwa saya bisa. Bisa, terus bisa dan pasti bisa.

Kesempatan sudah menipis untuk membuktikannya, dan harapan itu pun semakin kecil untuk saya wujudkan. Meski pesimisme masih saja melanda, namun insya Allah, saya percaya, Tuhan pasti memiliki sebuah rencana lain untuk hidup saya. Saya akan terus memperbaiki semua kekurangan saya. Apabila ada kesempatan, saya akan memanfaatkannya habis-habisan untuk membuktikan kepada diri saya, bahwa keputusan saya tidak salah.

Mungkin Tuhan tidak meridhoi perbuatan saya selama ini. Mungkin saya memang harus mengalami kegagalan yang menyakitkan hati ini berkali-kali. Mungkin saya benar-benar harus memperbaiki diri saja. Mungkin setelah kegagalan ini, akan ada suatu hal yang sangat amat menyenangkan bagi saya nanti. Oleh karena itu, Ya Allah, tolong, ridhoilah hamba-Mu dalam menjalankan rencana hidupmu ini, lapangkanlah hati hamba dalam menerima hasilnya, dan jauhkanlah hamba dari pikiran negatif yang sering hamba alami. Amin.

No comments:

Post a Comment