Lagi-lagi, my
black-hearted feeling menginspirasi untuk membuat tulisan. Lagi. Oh my ==”
* * *
Hubungan ini, kira-kira namanya apa ya? Sebuah
hubungan cinta-benci, mutualisme-parasitisme, putih-hitam mungkin?
Mungkin kata-kata itu yang bisa menggambarkan
hubungan ini dengan sebuah perkumpulan (yang mulai sekarang akan kita sebut
dengan kata “X”).
* * *
Kalau bisa dibilang cinta, maka aku dengan bangga
akan berkata, bahwa aku sangat, amat, mencintai X selalu.
Semua kisahku berawal dari X. Semua kenangan manisku berawal dari X.
Mulai dari masuk X untuk yang pertama kali,
cepat-cepat menyelesaikan ujian yang hanya ada di X, menangis karena tidak bisa mendapatkan “sesuatu” di X bersama yang lainnya (sampai harus
mengeluhkan kepada ketua X), sampai
pada sebuah masa transisi dimana aku dan teman-teman, bukan, KELUARGA,
menyambut dan mengurus para calon yang baru, membuatnya senyaman mungkin.
Kuakui, memegang peranan penting di X bukanlah hal yang mudah. Semuanya
susah, sulit, dan njelimeti, sampai terkadang membuat tekanan batin
tersendiri (hehe). Apalagi posisi yang kupegang ini, meski bukan sebagai ketua
yang tentu saja memegang kendali utama, tapi aku memiliki kuasa mengenai
kegiatan-kegiatan yang ada di X. Bangga?
Pasti! Sombong? Boleh kan? Hehe...
Awal-awal kebersamaan kami sebagai keluarga, bisa
dibilang, penuh dengan tantangan. Dimulai dari mengurus sebuah acara untuk
mengubah status para calon ini sebagai anggota resmi X, dimana kita harus bertaruh dan menantang nasib kita terhadap
sang mother nature, walaupun pada
akhirnya kita harus kalah dengan telak dan menyakitkan, sehingga semua
persiapan yang telah dilakukan harus dirombak ulang. Tapi kau tahu? Di balik
kekalahan itu, tersimpan sejuta kenangan aneh, unik, ajaib nan manis yang ada,
entah itu mandi hanya sekali (saking tidak ada waktu), mengatasi kekalahan kita
terhadap alam bersama-sama, melihat tingkah laku unik calon-calon yang baru,
serta, tentu saja, menangis ketika semuanya bermasalah.
Lalu kegiatan yang harus menjelajahi, naik dan
turun gunung berpuluhkilometer jauhya, dengan persiapan yang serabutan banget,
tapi pada akhirnya, bisa dan sukses untuk dijalankan. Lalu kegiatan dimana aku
dan yang lainnya harus menjelajahi pelosok kotaku dan sekitarnya dengan satu
tujuan : cari uang! Intinya, semua kegiatan yang, meski pada awalnya sangsi
apakah bisa dijalankan, namun pada akhirnya berjalan dengan sukses, meski harus
diiringi dengan tangisan dan amarah, namun akhirnya dihiasi dengan pengalaman
unik, gaje, menyenangkan dan tidak terlupakan. Alhamdulillah J
Eits, jangan lupakan hal ini: kegiatan rutin.
Kegiatan yang sudah (sedang? Atau justru belum sama sekali?) direncanakan akan
dilaksanakan setiap minggunya oleh kami, sang pemegang kuasa dalam hal
kegiatan. Tentu saja, pekerjaanku yang satu ini ditemani oleh partner yang juga berkualitas, begitu care terhadap para anggota resmi kita, dan
tentu saja memiliki inovasi yang brilian, sangat brilian, sehingga benar-benar
meningkatkan dan memajukan kualitas X.
Sebuah kombinasi partner, yang menurutku,
sangat akur, sangat memahami satu sama lain, dan sama-sama keren (oke, ini
terlalu memuji diri sendiri ==”)
Singkatnya, setelah sekian lama berada di X, aku benar-benar merasakan arti
kekeluargaan dan kebersamaan yang sebenarnya. Tertawa bersama, marah bersama,
menangis bersama, rasanya benar-benar erat! Harapanku, tentu saja, agar banyak
kenangan manis yang bisa dibuat untuk menghapus kenangan buruk yang ada.
Tapi sayang, harapan itu tidak terwujud. Yang ada,
justru kebalikannya, hal yang benar-benar memaki, mencaci dan mencemooh semua
hal-hal manis yang pernah ada.
* * *
Kalau bisa dibilang
benci, maka aku dengan lantang mengatakan bahwa aku membenci X, meski tidak selalu.
Meski skala benciku
tidak melebihi skala cintaku, namun harus kuakui, bahwa akhir-akhir ini, kedua
skala tersebut sama imbangnya.
Kenapa?
Semua berawal dari
sebuah perpisahan dengan partner yang,
bisa dibilang, benar-benar aku kagumi dan hormati. Mulai dari miskomunikasi
yang berujung ke saling caci dan maki mengenai diri masing-masing, hingga
perbuatannya yang, berani kubilang, mengkhianati X, mengkhianati keluargaku, dan tentu saja, mengkhianatiku.
Praktis, dengan raibnya eksistensi dia, maka kinerjaku menurun jauh, drastis,
jatuh ke dasar jurang yang tidak berujung (apakah kata-kata ini terlalu
hiperbola?).
Setelah itu, semua
berubah. Tidak ada yang sama.
Konflik kecil-kecilan
mulai muncul di keluargaku ini. Banyak keegoisan yang muncul di sana sini, dari
semua kalangan dan pihak. Saking banyaknya konflik yang muncul, aku sampai
harus mengadu (dan menangis, lagi, yeah,
aku memang cengeng) kepada sahabat dari partnerku,
bahkan hingga ke ketua. Sayang, bukan respon dan balasan yang baik yang ku
terima, namun justru sikap acuh tak acuh yang aku dapatkan.
Ketika aku benar-benar
merancang dengan matang, partner ku
mengubah semuanya. Ketika aku ingin ikut mendapatkan “sesuatu yang lebih tinggi”,
aku tidak bisa karena kewajibanku sebagai pemegang kuasa kegiatan tidak bisa
kutinggalkan seenaknya. Ketika aku benar-benar tidak bisa mengikuti kegiatan
yang ada, justru tidak ada rasa pemahaman dari keluargaku ini. Ketika semua
membahas kegiatan yang tidak bisa kuikuti dan aku bertanya mengenai itu, justru
jawaban yang bercanda dan sindiran yang aku dapat. Ketika partner ku akhir-akhir ini tiba-tiba muncul begitu saja, meski
semua mengeluh namun toh keinginannya tetap dituruti, sedangkan keinginanku
tidak dipedulikan sama sekali. Ketika semuanya bersenang-senang, termasuk partner ku, tidak ada satupun keluargaku
yang mengerti kondisiku, setidaknya merasa simpatik, justru larut dalam kesenangan
yang mereka buat.
Aku memang tidak bisa
menyembunyikan rasa kebencian ini dengan baik. Tapi, entah kenapa mereka tidak
menyadarinya. Atau mungkin mereka menyadarinya, namun hanya diam saja? Tidak berbuat
apa-apa? Kecewa, kecewa.
Aku benci dengan
keegoisan yang akhir-akhir ini muncul. Aku benci dengan kemunculan partner yang mengambil alih semua yang
telah disusun dengan rapi. Aku benci dengan sikap keluargaku yang tidak memahamiku.
Aku benci dengan kesenang-senangan yang mereka alami, sedangkan aku larut dalam
kemurkaan yang mendalam. Dan, yang paling penting, aku benci pada diriku
sendiri, yang dengan teganya memiliki perasaan benci untuk keluarga yang aku
cintai.
Sejak kapan? Aku bahkan
tidak menyadari bahwa perasaan benci ini diam-diam menyelinap di lubuk hati
yang paling dalam. Apakah aku sudah termakan oleh cacian partner ku? Atau aku sudah termakan oleh suasana negatif yang ada?
Atau karena aku kecewa, sangat amat kecewa berat, dengan perubahan di
keluargaku ini?
Singkatnya, aku
menyadari sisi gelapku tentang X,
sebuah sisi egois yang benar-benar aku benci dengan sepenuh hati, yang pada
akhirnya menggerogotiku perlahan-lahan dari dalam.
* * *
Damn. Kalau
seperti ini terus, lama-lama bisa muncul kepribadian ganda. Calon psikopat? No
way! Siapa yang mau coba?
Tentu saja, aku ingin merubah. Semuanya. Meski
tidak bisa kembali lagi seperti dulu, namun
setidaknya aku, ya, AKU, ingin merasakan kebahagiaan yang dulu. Kembali
berkumpul dan bersenang-senang dengan keluargaku. Benar-benar merasakan arti
kekeluargaan dan kebersamaan yang sesungguhnya
Permohonanku memang cukup egois.
Aku ingin kembali akur dan bekerja sama (juga saling
memahami) dengan partnerku.
Aku ingin menghilangkan rasa egois di diriku dan
keluargaku.
Aku ingin dipahami oleh keluargaku mengenai
kondisiku.
Aku ingin agar keluargaku bersedih ketika aku
tidak ada.
Aku ingin menjadi orang yang penting dan berkesan
dalam keluargaku.
Aku ingin agar rasa kebencianku bisa dihilangkan
oleh keluargaku.
Aku ingin meminta maaf pada keluargaku yang telah
merasakan kebencianku.
Egois. Memang sungguh egois. Yah, namanya juga
manusia yang banyak salah dan dosa.
Aku harap, permohonanku ini bisa terkabul. Usaha?
Sudah kuusahakan, meskipun hasilnya selalu percuma dan sia-sia. Bekerja lebih
keras? Sekeras apa lagi aku harus bekerja?
Dear God, please
do make my wish, my egoistic and selfish wish, come true. Amin.